Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Jurnalisme Indonesia telah mati?



Pilpres dan Pileg telah usai. Kini kita punya Jokowi JK dan ratusan anggota DPR yang akan segera bertugas untuk lima tahun kedepan. Seharusnya perang tak lagi ada. Yang ada adalah kedamaian dan meminjam istilah ABG sekarang-Move ON. Perang memang tak ada lagi, namun baranya masih dipelihara. Media arus utama kita begitu sibuknya memelihara bara itu dengan tujuan yang patut dipertanyakan.


Politik tetaplah politik dalam pengeritan sempitnya,perebutan kekuasaan. Seyogyanyalah agenda utama itu tetap disana bukan di meja redaksi. Redaksi berita seharusnya berkutat pada pemenuhan narasi fakta bagi publik bukan terlibat sebagai partisan atau supporter. Jurnalisme seharusnya dikembalikan pada akar sejarahnya, kritik pada dominasi mayoritas berpihak pada minoritas. Agenda utamanya adalah kebenaran. 


Namun, prilaku media beberapa tahun ini seperti kehilangan jati diri. Tak pelak ini mengundang tanya. Sejauh mana kemaslahatan publik menjadi prioritas ditengah keberpihakan media mainstream ini. Tengoklah sejumlah teguran KPI kepada sejumlah televisi swasta kita karena liputan tak imbang dan cenderung partisan ketika menyiarkan tokoh politik pada kampanye kemarin. Hal yang kita ketahui tentu saja televisi ini memang dikuasai konglomerat yang sekaligus tokoh politik. 


Lantas masih adakah media arus utama yang jadi pijakan dalam memberikan narasi objektif itu. Saya ingat ada Tempo. Semasa belajar jurnalistik, saya pikir Tempo adalah terbaik. Mereka melewati dominasi Orde Baru dengan gagah. Itu tercatat dalam sejarah. Sama ketika kasus aneh pencemaran nama baik, Tomy Winata VS Tempo. Saya terasa mendidih ketika praktik jurnalistik dianggap bagian dari pencemaran nama baik.



Itu dulu, sekarang saya merasa jengah dengan Tempo Media, headline berita online nya serasa zaman kolonial itu. Politik adu domba. Tempo seharusnya seperti Jakarta Post itu. Jakarta Post tak malu membuka topeng, dengan berkata, Kami dukung Jokowi JK. Meskipun saya pikir itu sangat menggelikan. Sekarang ini, media online pintar memainkan emosi para pengguna internet kita.


Perang telah usai, hendaknya tak lagi soal pembenaran siapa benar dan siapa salah. Namun, media online dari media nasional masih saja berkutat pada panasnya perang itu. Saya bukan partisan atau supporter, apalagi anggota parpol atau pasukan cyber salah satu tokoh politik atau salah satu koalisi. Saya adalah orang yang kuatir pada jurnalisme sebagai alat perjuangan politik caci maki.


Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa, headline media online kita begitu trengginasnya terhadap isu Jokowi JK, Perseteruan Koalisi, Prabowo, Ahok ini.


Pertama, media kini telah berubah. Orang baca berita kini dengan mudahnya lewat internet. Medianya bisa dari computer desktop, smartphone, Ipad, Iphone, Tablet, bahkan Handphone biasa. Orang kini mobile jauh dari jangkauan kertas koran. Lalu pertanyaannya bagaimana meraih pembaca jenis ini. Beradaptasilah media mainstream dengan membuat versi online nya. Sebagai bagian dari strategi meraih pembaca masa kini yang berubah seiring teknologi komunikasi berkembang.


Kedua, Media online perlu pembaca. Semakin banyak pembaca semakin tinggi traffic pengunjungnya. Semakin tinggi maka akan semakin bagus performance websitenya. Data statistic ini bisa dijual ke pengiklan atau bagian dari strategi paket iklan ke calon pengiklan. Semakin tinggi traffic pengunjung akan semakin kredible media online ini. Kemudian iklan akan masuk seiring dan sepaket dengan iklan media cetaknya.


Ketiga, guna menarik pengunjung harus menyiasati manajemen konten. Psikologi pembaca maya cenderung tidak tetap, cepat merasa bosan, tidak punya banyak waktu, aktif, dinamis, dan terbatas. Kontennya harus lah menyesuaikan dengan indicator ini. Jadi dibuatlah judul yang provokatif dan to the point. Isi beritanya singkat-singkat namun terbaharui dengan cepat. Judul beritanya mesti menohok dan menggoda, merangsang pembaca untuk berkunjung ke website.


Keempat, headline berita tentu saja mesti yang hangat-hangat. Jadi jangan heran kalau berita, Norman Kamaru jual bubur berusaha dijual ke khalayak hingga dua minggu lebih itu. Atau cerita cinta Luna Maya dan Ariel yang masih saja digadang-gadang dalam konten salah satu website impor itu. Ada Yahoo Indonesia, Detik, dan Tempo pintar memainkan headline ini. Tentu saja, topic Jokowi JK dan perseteruan itu menjadi primadona hingga saat ini.


Kelima, mereka manfaatkan media social untuk menarik pengunjung. Ingat, sekarang Indonesia ada diurutan lima besar pengguna facebook paling banyak se dunia. Bayangkan sekitar setengah atau seperempat penduduk Indonesia adalah pengguna facebook dan twitter itu. Katakanlah ada sekitar 50 juta pengguna facebook yang menjadi sasaran media online ini.


Keenam, media online perlu komentar untuk menjaga nilai berita agar selalu hangat. Saya jadi ingat dengan program 100 hari Jokowi Ahok di Metro TV. Bagaimana metro TV dengan begitu telatennya menggiring opini dan menciptakan nilai.


Ketujuh, media online perlu ciptakan drama dalam bisnis ini. Harus ada protagonist dan antagonis. Masyarakat kita, Indonesia selalu suka dengan keributan dan darah. Prinsip rekayasa ini sering dimainkan oleh Infotainment kita. Menciptakan tragedi dan drama supaya programnya laku dijual gara-gara banyak masyarakat kita yang nonton. Jadi ingat dengan drama percintaan Daus Mini yang selalu menghiasi layar infotainment.


Kedelapan, Media online tetap akan berhubungan dengan pemilik modal, kapital, kepentingan ekonomi. Media online tetaplah industri bisnis yang penuh kalkulasi untung rugi. Jadi, anda bisa menilai sendiri mengapa televisi swasta kita tetap ngeyel meski ditegur KPI.


Kesembilan, agar isu yang dilemparkan oleh media online tetap hangat. Isu itu perlu feedback dari komentar para loyalis atau member group atau fanpage website bersangkutan. Jadi jangan heran kalau satu isu bisa ratusan komentar masuk.Member inilah nanti yang akan share isu itu ke wall masing-masing. Bayangkan jika ada ratusan member memposting satu isu dan ditanggapi ratusan pengguna, maka exposure pada isu itulah yang menjadi inti dari semuanya.


Kesepuluh, ekposure atau terpaan ini menjadi modal dasar bagaimana memanaskan isu. Menciptakan imaji pada sebuah even atau tokoh. Menentukan baik buruknya prilaku seseorang. Bahkan menciptakan drama.Kisah Florence, menjadi contoh bagaimana complain personal itu menjadi viral dimana-mana hingga meruntuhkan masa depannya.

Selain motif ekonomi, motif politik bisa mendasari ekposure apa yang diharapkan dari strategi konten media massa online. Saya membayangkan, alangkah damainya ketika isu yang dimainkan adalah tentang semangat hidup, wirausaha, penyelamatan lingkungan, dan pendidikan kreatif. Namun, media mainstream kita seolah terlalu takut untuk keluar dari zona nyaman itu, zona politik dan selebritis.


Mungkin benar, bahwa media massa kita adalah cerminan masyarakat kita. Tapi, saya tak percaya sebab, era digital pada dasarnya memberikan kita ruang untuk menentukan eksposure apa yang kita mau. Dan saya pun tak mau tergoda pada sebuah isu yang panas hanya karena banyak komentar. 


Saya pun tak hendak mengambil simpulan bahwa apa yang menjadi trend di media sosial adalah cerminan suara sebenarnya, sebab sejatinya trend di media sosial tak sesungguhnya mewakili kenyataanya di lapangan. 


Ketika teknologi berubah, seharusnya media massa tak merubah semuanya. Jurnalisme tetaplah sebuah laku yang mulia. Mencari kebenaran lewat pertimbangan etika dan moral.***





Posting Komentar untuk "Benarkah Jurnalisme Indonesia telah mati?"